Qadha atau Fidyah? Ini penjelasannya untuk Wanita Hamil dan Menyusui

Puasa Ramadhan tidak hanya dilakukan oleh kalangan laki-laki saja, tapi kewajiban ini juga diturunkan kepada wanita. Namun, ada beberapa kriteria wanita yang diberikan keringanan bahkan diharamkan untuk berpuasa. Diantara yang diberikan keringanan adalah wanita hamil dan menyusui. Lalu untuk membayar hutang puasa, Manakah yang wajib, melakukan qadha atau membayar fidyah puasa?

Wanita Hamil dan menyusui

Allah Ta’ala berfirman,

“Dan kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.” (Qs. Luqman ayat 14)

Dalam ayat diatas Allah menggambarkan kondisi wanita hamil dan menyusui adalah kondisi yang lemah dan berat. Oleh karenanya Allah memberikan dispensasi bagi wanita dalam dua keadaan ini sebagaimana dalam hadits Nabi Muhammad SAW,

“Sesungguhnya Allah memberikan keringanan bagi orang musafir berpuasa dan shalat, dan bagi wanita hamil dan menyusui berpuasa.” (Hr. Ahmad)

WanitaHamil

Berdasarkan sabda Nabi Muhammad SAW diatas, para jumhur ulama menyimpulkan bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa dan mereka wajib mengganti/qadha puasa di luar bulan ramadhan. Namun, ada perbedaan pendapat pada pelaksaan qadha puasa bagi wanita hamil dan menyusui yakni apakah hanya qadha atau juga membayar fidyah?

 

Baca Juga Belum Qadha Puasa tapi Sudah Masuk Ramadhan, Harus Bagaimana?

 

Pandangan Ulama

1. Madzhab Maliki

Imam malik dalam kitabnya Al-Mudwwanah menjelaskan sebagai berikut:

“Jika bayi seorang wanita menerima ASI dari selain ibunya dan ibunya juga mampu menyewakan ibu susuan untuk sang anak, maka bagi ibu ini harus berpuasa dan menyewakan ibu susuan bagi bayinya. Tapi jikalau sang anak justru tidak mau menerima ASI selain dari ibunya, maka sang ibu boleh berbuka kemudian ia harus mengqadha  dan membayar fidyah pada jumlah hari yang ia berbuka yaitu satu mud untuk setiap orang miskin.”

Kemudian imam malik menyebutkan, “bagi wanita hamil tidak wajib membayar fidyah. Selanjutnya ketika ia telah dalam keadaan sehat dan kuat, dia hanya wajib mengqadha puasa yang dia tinggalkan.”

2. Madzhab Hanafi

Menurut madzhab hanafi, wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa pada bulan ramadhan hanya mengganti puasa saja tanpa membayar fidyah.

Ketika wanita hamil atau menyusui dia khawatir terhadap kondisi dirinya atau anaknya, maka boleh tidak berpuasa, sebagaimana hadits nabi SAW, “Sesungguhnya Allah memberikan keringanan bagi orang musafir berpuasa dan shalat, dan bagi wanita hamil dan menyusui berpuasa.” Oleh karenanya, bagi wanita yang hamil dan menyusui jika merasa kesulitan maka akan mendapatkan udzur untuk tidak berpuasa seperti halnya orang sakit dan musafir. Dan bagi si wanita ini hanya diwajibkan qadha saja tanpa fidyah.

3. Madzhab Hanabilah

Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-Mughni mengatakan, “Bagi wanita hamil ketika mengkhawatirkan kondisi janinnya, ataupun wanita menyusui yang mengkhawatirkan kondisi bayinya, jika tidak berpuasa, wajib qadha atau ganti puasa dan membayar fidyah untuk orang miskin dari setiap hari yang ditinggalkan. Secara umum wanita hamil dan menyusui kalau keduanya mengkhawatirkan kondisi diri mereka, maka bagi keduanya boleh tidak puasa, dan cukup bagi keduanya mengqadha saja.”

4. Madzhab Syafi’i

Madzhab ini menyamakan wanita hamil dan menyusui yang tidak bisa berpuasa seperti kondisi orang yang tengah sakit. Oleh karena itu, wajib bagi mereka untuk melakukan ganti puasa pada saat sudah mampu untuk berpuasa. Namun, ada tambahan yakni berupa membayar fidyah jika alasan sang ibu tidak berpuasa semata-mata karena mengkhawatirkan sang anak. Berbeda halnya jika sang ibu merasa khawatir pada dirinya sendiri maka yang diwajibkan adalah qadha saja.

 Imam Nawawi menyebutkan dalam kitab beliau, Al-Majmu’:

“Menurut para ulama kami, wanita hamil dan menyusui jika keduanya khawatir terhadap kondisi fisik mereka dengan berpuasa, keduanya dapat berbuka dan mengqadha puasanya, tanpa membayar fidyah seperti halnya orang sakit. Begitu juga dia yang mengkhawatirkan kondisi fisiknya serta bayinya seperti yang dijelaskan oleh Ad-darimi dan As-sarakhsi dan selain keduanya. Adapun wanita yang khawatir terhadap bayinya, bukan fisik dianya, maka ketika dia tidak berpuasa, dia wajib mengqadha dan fidyah berdasarkan pendapat yang paling shahih yang disepakati oleh ulama (syafi’iyah).”

5. Pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar

Wanita Hamil

Ibnu Abbas dan Ibnu umar berpendapat bahwa wanita hami dan menyusui boleh tidak melakukan puasa ramadhan serta diganti dengan fidyah. Hal ini sebagaimana terdapat pada atsar Ibnu Abbas Rahimahullah,

“Ada keringanan untuk orang yang tua renta baik laki-laki atau perempuan apabila mereka tidak kuat puasa maka mereka boleh tidak berpuasa namun harus memberi makan untuk setiap hari yang ditinggalkan yakni untuk satu orang miskin. Demikian juga wanita hamil dan menyusui bila mereka mengkhawatirkan anak mereka maka boleh tidak berpuasa dan harus membayar fidyah.” (Hr. Abu Daud)

Demikianlah perbedaan pendapat di kalangan ulama terkait kewajiban bagi wanita yang hamil dan menyusui apabila mereka tidak berpuasa yakni jumhur ulama mewajibkan qadha bagi mereka apabila tidak berpuasa karena lemahnya fisik mereka. Ini diqiyaskan dengan orang yang sakit atau musafir yang sedang mendapat udzur syar’i dan udzurnya ini bersifat sementara sehingga apabila penghalang ini telah hilang maka mereka wajib untuk berpuasa sebagai qadha atas puasa yang ditinggalkan.

Terkecuali pada pendapat Ibnu umar dan Ibnu Abbas bahwa bisa diganti dengan fidyah, namun para ulama tidak mengambil pendapat ini karena dinilai lemah dalam pendalilan. Semoga kita bisa bertemu di bulan Ramadhan dan menjalankan ibadah di dalamnya dengan penuh kekhusyuan. Aamiin

Sumber: Buku Wanita hamil menyusui, Qadha atau Fidyah? Karya Isnawati, Lc, MA