Keromantisan kisah Ali dan Fatimah bukan lagi sebuah rahasia. Banyak orang yang mengidolakan kehidupan mereka, sebuah contoh nyata cinta suci yang selalu mengutamakan Allah di atas segalanya. Cinta yang disembunyikan diam-diam telah menginspirasi para muda-mudi di jaman ini agar tidak mudah tertipu rayuan cinta yang berujung kepada zina.
Ali Jatuh Hati kepada Fatimah
Fatimah Az-Zahra adalah putri Rasulullah SAW yang terkenal akan ketaatannya dalam beribadah kepada Allah, parasnya yang rupawan, dan kesantunannya kepada siapa saja. Fatimah menjadi wanita yang diidam-idamkan pada masa itu, termasuk oleh Ali bin Abi Thalib. Dibelaki ilmu agama yang mumpuni, Fatimah menjadi pribadi yang sangat taat kepada orang tuanya.
Ketaatan itu pula yang mampu menundukkan hati Ali ketika melihat Fatimah dengan sigap mengobati luka parah Rasulullah SAW usai berperang. Sejak saat itu, Ali bertekad untuk menikahi putri kesayangan Rasulullah SAW tersebut. Ali menyadari betul ia tidak punya cukup harta untuk membeli mahar. Akhirnya ia menabung supaya bisa membeli mahar untuk Fatimah.
Ali Sempat Dua Kali Patah Hati
Di tengah usahanya untuk menghalalkan Fatimah, Ali mendengar ada seorang sahabat yang berniat melamar Fatimah, yaitu Abu Bakar. Abu Bakar adalah sahabat yang terkenal akan kesetiannya kepada Rasulullah SAW. Nyali Ali mulai menciut untuk bisa memiliki Fatimah. Namun ternyata hal itu tidak menjadi akhir bagi kisah Ali dan Fatimah karena lamaran Abu Bakar ditolak.
Ali merasa lega sebab ia masih memiliki kesempatan. Tidak berselang lama, Fatimah kembali dilamar oleh Umar bin Khattab dan Ali kembali patah hati. Umar adalah sahabat yang sangat berani dan berjasa dalam peradaban Islam. Ali berpikir Rasulullah SAW akan menerima lamaran Umar bin Khattab dan niatnya untuk mempersunting Fatimah akan gagal.
Lamaran Ali Diterima Rasulullah SAW
Namun lagi-lagi perkiraan Ali salah, lamaran yang diajukan Umar ditolak oleh Rasulullah SAW. Rasulullah selama ini mengetahui bahwa Ali dan Fatimah saling mencintai meskipun keduanya tidak pernah menunjukkan. Karena kedua kejadian itu, Ali takut akan kehilangan kesempatan, ia pun memberanikan diri menghadap Rasulullah untuk meminta putrinya menjadi istri.
Diceritakan bahwa getaran cinta kisah Ali dan Fatimah dalam diam itu tidak bisa diketahui oleh setan. Melihat Ali akhirnya datang, Rasulullah pun menerima lamarannya. Tidak disangka, ternyata selama ini Fatimah juga menyimpan rasa yang sama kepada Ali. Fatimah berkata bahwa Ali adalah pemuda yang bisa membuat jantungnya berdegup kencang ketika melihat atau berpapasan dengannya.
Meneladani Perjalanan Cinta Ali dan Fatimah
1. Menikah dengan Mahar Sederhana
Rumah tangga Ali dan Fatimah terkenal sangat sederhana dan hampir tidak pernah bergelimang harta, bahkan ketika Ali menjadi amirul mukminin. Setelah menemui Rasulullah untuk melamar Fatimah, Ali tidak memiliki apa pun, kecuali baju besi, unta, dan pedang. Unta dan pedang yang dimilikinya masih harus digunakan untuk berdakwah, sehingga Ali menjual baju besinya.
Baju besi pemberian Utsamah bin Affan itu ia jual seharga 480 dirham dan uangnya ia gunakan sebagai mahar untuk Fatimah. Meskipun diberikan mahar seadanya, Fatimah sama sekali tidak mengeluh. Baginya, memiliki seorang Ali sudah lebih dari cukup. Kisah Ali dan Fatimah ini mengajarkan kesederhanaan dalam hal apa pun dan situasi yang bagaimanapun.
Pasalnya, pernikahan jaman ini lebih mengedepankan kemewahan yang disajikan tanpa memperhatikan esensi penting dari pernikahan itu sendiri. Beberapa orang bahkan lebih baik hutang untuk menggelar pernikahan mewah daripada malu dengan acara yang biasa saja. Padahal pernikahan yang sesungguhnya bukan terletak pada semeriah apa pestanya, tapi fase yang dilalui setelah pesta itu.
2. Bahu-Membahu dalam Urusan Rumah Tangga
Hidup dalam kesederhanaan membuat Ali tidak mampu membayar budak untuk meringankan pekerjaan Fatimah. Melihat Fatimah yang seringkali kelelahan mengerjakan tugas rumah tangga, Ali pun ikut turun tangan menyelesaikan pekerjaan rumah. Dikisahkan suatu ketika Rasulullah sedang berkunjung ke rumah Fatimah dan mendapati putrinya tengah menangis.
Rasulullah SAW bertanya apa gerangan yang membuat Fatimah menangis. Fatimah berkata dirinya sangat lelah mengerjakan pekerjaan rumah tanpa bantuan seorang pun dan meminta ayahnya untuk memberitahu Ali supaya membeli budak untuk membantu tugasnya. Inilah sedikit cuplikan kesederhanaan kisah Ali dan Fatimah.
Kemudian Rasulullah mengambil gandum dan meletakkannya ke raha (alat penggiling gandum). Dengan mengucap basmalah, raha tersebut bergerak sendiri dan menggiling gandum hingga menjadi tepung. Rasulullah menasehati Fatimah agar tetap sabar menjalankan tugasnya sebagai istri.
Dari sini dapat diambil sebuah pelajaran bahwa bagaimanapun bentuknya, tugas yang ditanggung oleh seorang istri tetap bernilai pahala di samping Allah SWT asalkan dikerjakan dengan ikhlas. Jika seorang suami tidak mampu membelikan budak atau di jaman sekarang menyediakan pembantu, maka sudah seharusnys suami juga turut andil dalam mengerjakan pekerjaan rumah.
3. Selalu Berbagi di Tengah Kekurangan
Teladan yang bisa diambil dari Kisah Ali dan Fatimah selanjutnya adalah senantiasa berbagi walaupun dalam keadaan kekurangan. Berbagi tidak harus selalu menunggu memiliki harta yang banyak. Tetap berbagi di dalam kondisi kekurangan adalah sesuatu yang luar biasa karena bisa merelakan apa yang dimiliki untuk orang yang lebih membutuhkan.
Suatu hari di akhir Ramadhan, Ali meminta izin kepada Fatimah untuk bersedekah kepada fakir miskin dengan memberikan semua simpanan pangannya. Fatimah menyetujui niat baik Ali, kemudian sore harinya mereka sekeluarga berkeliling untuk mencari fakir miskin dan yatim piatu.
Ali membawa 3 karung gandum dan 2 karung kurma, sementara Fatimah beserta kedua anaknya membawa 2 kantong plastik besar. Semua simpanan pangan yang mereka miliki habis untuk dibagi-bagikan kepada oang-orang yang lebih membutuhkan makanan. Meskipun begitu, mereka tetap hidup bahagia.
Saat Hari Raya Idul Fitri, seorang sahabat yang bernama Ibnu Rafi’i dan Abu Al Aswad ad-Du’ali hendak berkunjung ke rumah Ali dan Fatimah. Ketika akan masuk rumah, keduanya mencium bau makanan basi yang dimakan dengan lahap oleh Ali, Fatimah, dan anak-anaknya. Karena terkejut mengetahui hal itu, keduanya mengurungkan niat berkunjung dan menemui Rasulullah SAW.
Mereka menceritakan apa yang mereka lihat di rumah Ali dan Fatimah kepada Rasulullah. Mendengar hal itu, Rasulullah SAW menemui Ali dan Fatimah dan mendengar suara tawa bahagia dari dalam rumah. Beliau juga menyaksikan bekas makanan busuk yang sudah habis dimakan oleh Ali dan keluarganya.
Menyadari kehadiran sang ayah, Fatimah berdiri dan mencium tangan ayahnya. Rasulullah SAW tidak sanggup menyembunyikan kesedihannya lantara melihat sang putri harus memakan makanan basi. Beliau lalu memeluk Fatimah sembari berkata, “Semoga kelak surga menjadi tempatmu, Nak” dan diaminkan oleh semua yang ada di situ.
Kehidupan Ali dan Fatimah memberikan contoh yang luar biasa untuk menjalani rumah tangga yang berkah dan selalu bergantung hanya kepada Allah. Mereka tidak takut dengan kemiskinan harta asalkan Allah bersama dengan mereka. Rumah tangga yang tidak didasari oleh materi duniawi akan menjadi tempat baik yang menumbuhkan generasi-generasi hebat.