Semua orang berlari-lari untuk mencari, menggapai, mendapatkan, memiliki, dan mempertahankan kebahagiaan. Namun untuk apa? Lalu setelahnya apa? Kita sedang di puncak. Puncak gelombang sinusoidal (sinus) bernama ‘kehidupan’, yang di mana ketika sudah sampai puncak, lambat-laun kita akan turun kembali ke bawah.
Baca Juga : Keutamaan Menyantuni Anak Yatim
Terjerumus kepada kesusahan dan kesulitan. Dan gelombang sinusoidal (sinus) itu tidak akan menjadi sebuah garis lurus pada fasa tertentu. Gelombang tersebut akan tetap berbentuk gelombang. Bahkan mungkin amplitudonya semakin besar.
Seiring berjalannya waktu, kesulitan akan menjadi semakin sulit. Namun diimbangi kebahagiaan yang mungkin akan dirasa sangat bahagia. Dan bahkan lebih membahagiakan dari sebelumnya. Lalu sebenarnya apa yang kita cari? Sebenarnya apa yang kita kejar? Kebahagiaan seperti apa? Atau.. apa itu bahagia sendiri?
Setiap orang punya caranya sendiri dalam membuat kebahagiaan. Namun sayangnya, pada masa ini, sudah banyak standardisasi mengenai kebahagiaan. Salah satu contoh mengenai standardisasi kebahagiaan adalah efek dari pesatnya alur informasi oleh media.
Sehingga orang-orang secara tidak langsung melihat apa yang ada media adalah hal yang menyenangkan. Padahal dahulu, sangat mudah sekali bagi kita menemukan kebahagiaan. Kebahagiaan ada di sekitar kita.

Ketika melakukan sesuatu di lingkungan sekitar kita yang bisa membuat kita bahagia, maka itu menjadi bahagia. Salah satunya mengunjungi panti asuhan. Disana kalian dapat berinteraksi dengan anak-anak seperti, memberikan santunan, mengajari mereka belajar, menceritakan dongeng untuk mereka, dan lain-lain.
Kebahagiaan memang perlu kita kaji lagi. Jangan menjadi orang yang menyulitkan diri untuk bahagia. Karena ternyata kebahagiaan mendukung untuk produktivitas. Kebahagiaan pula menjauhkan diri dari dari stress dan penyakit lainnya.
Baca Juga : Rekening Donasi Untuk Anak Yatim & Dhuafa
Yang saya tekankan di sini, bahagia tidak perlu muluk-muluk. Bahagia tidak perlu jauh-jauh. Kebahagiaan ada di sekitar kita. Bahkan jika kita berpikir lebih sederhana, mengetahui diri masih bisa melihat, mendengar, dan berbicara pun adalah suatu kebahagiaan yang perlu kita syukuri.
Namun, mengetahui diri telah menjadi orang yang bermanfaat bagi sekitar dan memiliki kontribusi yang cukup besar, memberikan sebuah rasa ‘aman’, sekaligus kebahagiaan. Kebahagiaan yang cukup berkepanjangan. Karena diikuti dengan kebahagiaan-kebahagiaan lainnya di sekitar kita.

Mengetahui orang lain bahagia karena saya, lebih membahagiakan ketika saya sendiri bahagia. Analoginya seperti memberi makan kepada kaum dhuafa. Saya lebih bahagia ketika bisa mentraktir atau berbagi nasi kotak (tanpa merasa kekurangan apapun) kepada kaum dhuafa, daripada saya sendiri makan makanan mewah.
Maka dari itu ini merupakan salah satu motivasi untuk terus berjuang. Karena menurut saya, bahagia bukan soal kita merasa tenang dan aman tanpa kesusahan. Tapi bahagia adalah kebahagiaan orang-orang di sekitar, dikarena perbuatan baik yang dilakukan oleh diri kita. Bagaimana dengan Anda?
Pingback: Patungan Sekolah Yatim - Pondok Yatim & Dhuafa