Idul Adha kerap disebut dengan Hari Raya Kurban atau Lebaran Haji. Keduanya sama-sama mengandung nilai serta makna pengorbanan yang amat tinggi sebagai penopang keimanan dan pengabdian total kepada sang Maha Pencipta.
Berkurban datang untuk mengingatkan spirit pengorbanan, ketulusan, dan keikhlasan yang kini terus menurun karena rakusnya individualisme dan egosentrisme. Ibadah berkurban selalu kembali untuk mengingatkan pentingnya spirit untuk berkorban bagi sesama, karena tanpa itu, yang muncul ialah penyakit-penyakit sosial dan kerusakan tatanan nilai kemanusiaan.
Ambisi-ambisi golongan dan pribadi lebih mendominasi kehidupan berbangsa ini ketimbang pengabdian diri yang hakiki. Loyalitas kebangsaan acap tergusur oleh loyalitas terhadap kepentingan dan kekuasaan. Kesediaan berkorban pun sering tergantikan oleh pameran keserakahan.
Berkurban pada Idul Adha mengajarkan bahwa pengorbanan yang dilakukan Nabi Ibrahim adalah wujud kepasrahan tiada tanding yang mestinya menjadi teladan kita semua.
Spirit pengorbanan Ibrahim saat menyembelih sang anak, Ismail, masih sangat relevan dan seharusnya dijadikan contoh untuk diaktualisasikan dalam konteks kekinian. Moment yang tepat bagi bangsa ini untuk mengambil hikmah atas hakikat berkurban.
Mengajarkan tentang ujian keimanan dan keikhlasan seseorang untuk mengorbankan sesuatu yang sangat berharga. Sebagai manusia biasa, terkadang kita masih terlalu sulit mengikhlaskan hal berharga yang kita miliki. Cara pandang kita pun masih terjebak dalam realitas semu, seringkali salah mengartikan tentang hakikat pengurbanan.
Terutama sekarang, ketika di negeri ini banyak saudara kita tengah ditimpa musibah bencana atau memiliki kehidupan yang serbakekurangan di tengah pandemi. Mereka sangat memerlukan dukungan dan uluran tangan. Kepedulian kita terhadap sesama, bantuan kita kepada yang lebih membutuhkan, sesungguhnya merupakan langkah awal untuk menumbuhkan spirit pengorbanan yang sudah dicontohkan dalam sejarah Idul Adha.
Berkurban jangan cuma dianggap sebagai ritual dan formalitas semata, berkurban juga jangan dijadikan komoditas aksi demi sekadar status dermawan atau hartawan. Kerelaan berkurban mesti dimaknai sebagai laku prihatin, sebagai kesediaan mengorbankan sifat-sifat buruk demi kepentingan yang lebih besar dan mulia.
Demi tujuan yang lebih besar dan bermakna, sembelihlah semua ego, keserakahan, serta sifat-sifat culas lainnya. Tinggalkan semangat untuk menang sendiri dan benar sendiri karena yang seperti itu pasti tak menyisakan ruang untuk simpati dan empati.
Allah SWT berfirman :
فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّۗ كَذٰلِكَ سَخَّرْنٰهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
Maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta-minta. Demikianlah Kami telah menundukkannya (unta-unta itu) untukmu agar kamu bersyukur. (QS. Al-Hajj : 36)
Berkurban, akan menumbuhkan semangat untuk berbagi dan menolong sesama yang membutuhkan. semoga kita semua dapat meneladani sekaligus meningkatkan level pengamalan spirit pengorbanan yang telah diajarkan Ibrahim.
Pada hakikatnya seluruh ibadah tidak lain adalah sebuah pembuktian ketakwaan kita. Dari sini, sudahkah kita berhasil memaknai hakikat berkurban?
Berkurban menunaikan ibadah kurban lebih praktis, mudah dan berkah bisa langsung melalui link jiwa muslim berani berkurban .